وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Thalaq: 2–3)
Sabar adalah adat kebiasaan para Nabi dan para Rasul. Sabar adalah permata yang menghiasi kehidupan para wali. Sabar adalah mutiara bagi orang-orang Solehah. Sabar adalah cahaya penerang bagi siapa pun yang menapaki jalan menuju kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.
Menurut Imam Al-Ghazali, kata sabar dan berbagai kata turunannya disebutkan di lebih dari 70 tempat dalam Al-Qur’an. Di antaranya, Allah berfirman:
أَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
Artinya, selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu, maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.
Seseorang yang memiliki sifat sabar bukan berarti dia seorang pengecut, putus asa, dan lemah dalam berucap, bertindak, dan mengambil keputusan. Sabar hakikatnya adalah menahan diri dan memaksanya untuk menanggung sesuatu yang tidak disukainya, dan berpisah dengan sesuatu yang disenanginya.
Sabar, yang merupakan salah satu kewajiban hati, ada tiga macam, yaitu:
– Pertama: Sabar dalam menjalankan ketaatan yang Allah wajibkan.
Pagi hari yang suhu udaranya sangat dingin, kita harus bersabar dalam melaksanakan perintah Allah. Kita paksa diri kita untuk menahan dinginnya udara guna mengambil air wudhu. Pada pagi hari juga, saat tidur adalah sesuatu yang disenangi nafsu kita, kita tahan keinginan nafsu itu dan kita paksa diri untuk melaksanakan ibadah sholat Subuh. Kita lakukan itu semua semata-mata mengharap ridha Allah. Inilah yang disebut dengan sabar dalam menjalankan ketaatan yang diwajibkan Allah SWT.
– Kedua: Sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan segala hal yang diharamkan.
Nafsu manusia pada umumnya menyenangi hal-hal yang dilarang Allah. Barang siapa yang menjauhkan dirinya dari kemaksiatan dengan niat memenuhi perintah Allah, maka balasannya sangat agung.
Para ulama mengatakan bahwa meninggalkan satu kemaksiatan lebih utama daripada melakukan seribu kesunatan. Karena meninggalkan kemaksiatan hukumnya wajib, sedangkan melakukan kesunatan hukumnya sunat. Tentunya yang wajib lebih utama daripada yang sunat. Hal itu dikarenakan sabar dalam meninggalkan perkara haram menuntut perjuangan yang luar biasa berat.
– Ketiga: Sabar dalam menghadapi musibah yang menimpa.
Musibah jika dihadapi dengan sabar akan meninggikan derajat atau menghapus dosa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Artinya, “Tidaklah seorang Muslim terlibat keletihan dan penyakit, kekhawatiran dan kesedihan, gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan dengan sebab itu semua Allah akan menghapus dosa-dosanya.”
Seseorang yang memahami ilmu agama dengan baik dan memegang teguh ajaran agama Islam sebagaimana mestinya, maka musibah yang menimpanya tidak akan menambahkan kepadanya kecuali sikap sabar dan peningkatan ibadah kepada Allah. Dan perlu diingat bahwa musibah yang kita terima tidak sebanding atau belum seberapa dibandingkan dengan para nabi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَحْمَدُ وَغَيْرُهُمَا)
Maknanya, “Manusia yang paling berat ujian dan musibahnya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang di bawah derajat mereka. Seseorang diuji berdasarkan sekuat apa ia memegang teguh agamanya.”
Dalam sebuah kalimat iman dikatakan,
الصَّبْرُ كَالصَّبِرِ مُرُّفِي مَذَاقَتِهِ # لَكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu seperti buah jadam atau brotowali. Pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu.
Wallahu A’lam Bisshowab.
			
		    
                                
                                











