NU & Muhammadiyah: Pilar Islam Moderat – Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah memberikan penilaian bahwa Indonesia adalah “negerinya kaum Muslim moderat.”Bahkan, menurut Jajat Burhanudin professor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan karakter moderat Islam Indonesia ini dapat dijadikan model bagi keberagamaan Islam di seluruh Muslim dunia.
Bagaimana tidak, Islam Indonesia adalah “a smiling face” yang penuh damai dan moderat sehingga tidak ada masalah dengan modernitas, demokrasi, HAM, dan kecenderungan-kecenderungan lain di dunia modern. Namun demikian, realitas mulai memperlihatkan bahwa wajah Islam moderat ini mulai tercoreng oleh maraknya berbagai kasus radikalisme dan terorisme.
Kasus mutakhir baru-baru ini memperlihatkan kejadian peristiwa terror-radikal. Sebut saja polisi antiteror menciduk mahasiswa Universitas Brawijaya Ilham Alfarizi yang disinyalir menjadi simpatisan ISIS sejak tiga tahun lalu.Kemudian peristiwa pengeboman kelompok terorisme jalan MH. Thamrin Jakarta tanggal 14 Januari 2016 yang membuat Indonesia pada kondisi “darurat radikalisme”
Kondisi demikian sekiranya sektor pendidikan menjadi garda terdepan dalam memainkan peran strategisnya dalam rangka deradikalisasi. Menurut Syamsul Arifin, peran dunia pendidikan sebagai salah satu institusi yang dioptimalkan untuk menanggulangi gelombang radikalisme. Peran pendidikan, terutama yang dikelola oleh umat Islam, diharapkan menjawab problematika banyaknya siswa hingga mahasiswa yang terpapar arus radikalisme. Hal ini sekiranya dapat membentuk wajah baru Islam supaya terlihat ramah, toleran, moderat dan bernuansa memiliki martabat di mata dunia.
Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan NU melalui lembaga pendidikannya masing-masing dapat menjadi pemain utama dan trendsetter dalam upaya deradikalisasi ini. Dengan cara memperkuat paham keagamaan Islam yang moderat, dua lembaga ini bisa menjadi upaya strategis sebagai pengusung Islam moderat. Muhammadiyah dan NU sudah saatnya bergerak melakukan bimbingan terhadap kelompok lain agar lebih mengedepankan kearifan, bukan kekerasan.
Dalam NU misalnya, NU dan landasan doktrin NU sangat relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Doktrin berpangkal pada tawasuth (moderasi), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar maruf nahi munkar menjadikan NU sebagai penyumbang dan benteng ketahanan disintegrasi bangsa. Inilah yang dibutuhkan masyarakat saat ini.
Keberagaman yang mempu melawan gerakan radikalisme selalu berawal dari sikap keberagaman moderat, yang menafsirkan teks-teks keagaman sesuai dengan bahasa yang damai, santun, dan bijaksana. Maka dengan demikian orang beragama itu mudah dan orientasi keberagamaanya tidak berhenti pada to have a religion, tetapi lebih penting dari itu adalah to be religious.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah dan NU benar-benar menyemaikan karakter Islam yang moderat bagi para peserta didiknya? Secara ideal memperlihatkan bahwa Muhammadiyah dan NU saling bersinergi untuk memperlihatkan adanya gagasan pendidikan Islam moderat. Berbagai kebijakan dan proses pembelajaran sifatnya mengarah pada penguatan Islam moderat.
Muhammadiyah yang lebih progresif dan menekankan pada pembaharuan dan kemodernan tidak serta merta meninggalkan nilai- nilai moderat sebagai basis ajarannya. Misalnya ciri utamanya pada bidang pendidikan adalah adanya mata pelajaran kemuhammadiyahan yang dirancang untuk menjadi instrumen menyemaikan karakter moderatnya.
Di sisi lain NU mempunyai Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dengan ciri khasnya tersendiri, yaitu adanya pelajaran Ahlussunnah wal Jamaah dan Ke-NU-an. Melalui konsep ‘SNP-Plus’ LP Ma’arif NU merupakan wahana untuk menyemaikan nilai moderatnya. Kondisi demikian adalah realitas nyata MU dan NU dalam memerangi gelombang radikal.
Peran Lembaga Sosial Keagamaan
Untuk memenuhi kebutuhan manusia, agama memainkan peran sebagai sebuah institusi. Kebutuhan mengelompok melahirkan norma dan pranata sosial, kebutuhan pengetahuan melahirkan lembaga pendidikan agama. Kebutuhan ritual, melahirkan lembaga seperti masjid, gereja, wihara dll.
Keberadaan Institusi sosial keagamaan dapat menjadikan masyarakat semakin tertib, utuh, dan terkendali, sebab mereka diikat oleh norma dan pranata yang diketahui (disosialisasikan, diajarkan dll), dipahami (ada penghayatan dan internalisasi), ditaati (sebagai keteraturan sosial, ketertiban dan keselamatan), dan bersama (dipraktikan dan diikuti oleh sekolompok masyarakat agama).
Seiring dengan kompleksitas kehidupan sosial keagamaan, di mana masyarakat semakin maju, makin komplek tatantangannya, makin kompleks kebutuhannya. Seperti halnya gelombang radikalisme yang seperti gelombang es, tidak surut-surut. Dibutuhkan strategi yang komperhensif dan kerja sama antar bidang untuk melawan akar-akar fundamental radikal.
Dengan adanya kolaborasi dan kerja sama antar lembaga institusi keagamaan yang diusung MU dan NU akan memperkecil ruang penyebaran arus radikal. NU yang dicirikan dengan mengedepankan Islam nusantara yang mengakar pada nilai-nilai lokal dan kearifan budaya dapat memperkuat dan membentuk lembaga yang bervisi pada penguatan nilai budaya dan bangsa dan perlawanan radikal.
Sementara itu, Muhammadiyah dengan penedekatan modern dan rasionalnya dalam memahami Islam dapat menekankan pada pemberdayaan dan kesejahteraan memerangi pemikiran ekstrem. Muhammadiyah dapat memperkuat Islam moderatnya dengan mengintegrasikan melalui lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tingginya.
Jika masing-masing lembaga institusi keagaaman dapat bersinergi dan memperkuat Islam moderatnya saya yakin Islam Indonesia akan menjadi percontohan negara-negara lain. Dengan pendekatan komperhensif dan berkelanjutan peran lembaga institusi keagamaan tidak hanya berorientasi pada sektor ekonomi saja, lebih jauh daripada itu tantangan gelombang radikalisme juga patut diwaspadai.
Kita tentunya tidak ingin negara kita seperti halnya yang terjadi di timur tengah. Banyaknya konflik, kejahatan dimana-mana, korban bahkan fasilitas hancur cukuplah menjadi hikmah bagi kita semua untuk hati-hati pada ideologi ekstrem ini. Jika kita tidak memulai akan pentingnya melawan radikalisme ini sedari sekarang maka suatu saat nanti generasi mendatang akan hancur dan berantakan.
Semoga dengan adanya penguatan Islam moderat yang diusung oleh MU dan NU sebagai founding fathers akan tetap menjadi garda terdepan melawan radikalisme. Sehingga apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa dan GUS DUR akan tetap istikomah dan Indonesia akan menjadi negara yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Amiin.
Penulis: Yusup Nurohman, esais Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga
			
		    
                                
                                










