Kekerasan Seksual di Tubuh Agama (Perspektif Sosiologi Agama) – Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama dan ketua Departemen Agama di Universitas Wake Forest pernah mempopulerkan “when religion becomes evil” yang akhir-akhir ini semakin menjadi nyata. Melalui bukunya Kimball menjelaskan, agama menjadi penyebab masalah yang kerap muncul di tengah umat manusia. Sosiolog Prancis Auguste Comte juga mengatakan bahwa di era modern agama akan luntur eksistensinya. Ini terjadi ketika agama hanya menjadi agama, bukanlah “bingkisan” yang hadir di ruang hampa dan bebas dari segala bentuk dinamika di dalamnya.
“When religion becomes evil” secara tidak langsung meramalkan apa yang terjadi di era sekarang. Sebagian orang mengatakan, kini manusia kembali memasuki era-kegelapan (dark age) sebagaimana yang pernah terjadi pada era sebelum adanya nabi, ketika manusia doyan pada konflik, peperangan, penindasan, perbudakan, perusakan, dan mengesampingkan etika-moralnya sendiri.
Manifestasi dari apa yang disampaikan Kimball adalah fenomena yang baru-baru ini terjadi. Makin maraknya kasus kekerasan seksual di tubuh lembaga pendidikan agama di Indonesia. Ada gejala yang kurang sehat mulai bermunculan dalam institusi pendidikan. Mulai dari tindakan pelecehan seksual hingga kekerasan yang lain dan kerap terjadi. Seharausnya hal ini menjadi catatan reflektif “apakah masyarakat tetap menjadikan lembaga pendidikan sebagai institusi moral? Atau sebaliknya?
Mengapa demikian, hal ini terkait dengan moralitas dalam tradisi masyarakat sebagai garda terdepan mencetak karakter moral. Sebagai sumber utama pencetak moral, pasti terlihat miris apabila output yang dihasilkan malah menciderai prinsip utama nilai moral itu sendiri. Hasilnya masyarakat nantinya akan mengalami anomali untuk mencari role model yang ideal, pasalnya figure yang dulu dipercaya dalam menuntun serta membantu orang lain justru menjadi pelaku tindakan amoral.
Diperlukan evaluasi besar atas tindakan sisi rapuh pada moral. Selain memperkuat pada sistem pendidikan yang diperuntukan keamanan dari tindakan asusila, rasanya juga diperlukan pelatihan serta menanamkan perspektif kesetaraan gender dalam setiap elemen pendidikan. Dengan demikian maka sistem pendidikan sejatinya dapat kembali menjadi garda terdepan dalam memperbaiki nilai moral dalam suatu tatanan kehidupan.
Berikut kami rangkum beberapa kejadian kekerasan hingga pelecehan seksual dalam lembaga pendidikan di Indonesia, simak selengkapnya!
Warga Araki Guru Ngaji Pelaku Pemerkosaan
Kasus yang terjadi di Sumberlawang Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Seorang guru ngaji ditangkap kepolisian karena kasus pemerkosaan terhadap murid yang masih di bawah umur. Kejadian ini mengundang amarah masyarakat setempat hingga pelaku di arak. Informasi dari kepala desa mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi pada Selasa 10September 2024. Bukti diperkuat dengan adanya pengakuan dari kakak korban bahwa adiknya telah diperkosa. Pelaku memperkosa dengan dalih iming-iming uang dan berjanji akan bertanggung jawab apabila korban hamil. Pemerkosaan ini diulangi berulang kali di beberapa tempat, seperti di gudang dan belakang rumah. Korban mengalami traumatis yang mendalam dan pelaku diamankan oleh kepolisian Sragen.
Kiai Lecehkan Santriwati dengan dalih Tirakatan
Lagi-lagi, MA (48) pengasuhpondok pesantren di wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ditangkap polisi pada hari selasa 24 September 2024. Ia diduga melakukan tindakan bejatnya yaitu mencabuli santriwatinya. Melansir dari detik.com, sampai saat ini ada tujuh santriwati yang melapor menjadi korban pencabulan pengasuh pondok dan mereka mengaku dicabuli dari tahun 2021. Usia korban kebanyakan masih di bawah 17 tahun. Modus yang digunakan pelaku adalah dengan dalih ritual tirakatan supaya hajat santrinya cepat terkabul. Aksinya dilakukan di banyak tempat seperti di kamar mandi, kamar tidur dll meskipun tidak sampai tahap persetubuhan. Pelaku dapat dijerat ancaman hukuman 15 tahun penjara sesuai dengan Pasal 82 tentang Perlindungan Anak dan juga dapat dikenakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Zikir Zakar
Di NTB, Dosen di sebuah universitas menjadi tersangka pelecehan sesame jenis. Dua puluh dua mahasiswa dan alumni menjadi korban pelecehan seksual dengan modus transfer ilmu menggunakan ritual “zikir zakar”. Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat pun memanggil dosen berinisial LRR tersebut sebagai terduga pelaku pelecehan seksual sesama jenis untuk menjalani pemeriksaan.
Pelecehan Seksual modus Bimbingan
Pada Rabu (25/9/2024) mewartakan, Kapolres Gorontalo, AKBP Deddy Herman, menetapkan seorang guru berinisial DH (57) sebagai tersangka atas dugaan tindak asusila terhadap siswi di sekolahnya setelah melakukan pemeriksaan delapan saksi. Paman korban yang tidak terima atas tindakan bejat DH yang tersebar di ke polisi. Tindakan pelaku dimulai sejak korban masih di bawah umur, tepatnya di tahun 2022, melalui pendekatan membantu korban melakukan tugas dan memberikan perhatian lebih. Keberadaan korban yang masih di bawah umur dan seorang yatim-piatu berhasil dikelabui oleh pelaku, sehingga korban memiliki ketergantungan yang berujung menjadi korban asusila. Atas perbuatannya, pelaku diancam hukuman minimal 5 tahun.
Ending
Mari kita analisis secara akademisi
Berita mengenai kasus pemerkosaan belasan santriwati pesantren, pencabulan, hingga pelecehan sesama jenis telah menggemparkan publik. Tindakan ini membuat masyarakat geram. Pasalnya hal ini dilakukan di lembaga pendidikan dan dilakukan oleh ustaz, kiai, tokoh bahkan dosen. Akibat tindakan yang dilakukannya, para korban mengalami trauma berat hingga gangguan mental.
Dalam kasus tersebut sebenarnya dipertanyakan bagaimana pemaknaan agamanya. Padahal pelaku adalahseseorang tokoh panutan dan lebih tidak pantas lagi terjadi di lembaga pendidikan yang tidak seharusnya terjadi. Di manakah yang salah? Agamanya atau manusianya? Benarkah agama berperan sebagai sumber masalah, atau sumber jalan keluar? Mungkinkah terjadi pertentangan dan tindakan koruptif di tubuh agama?
Terjadi dua pemaknaan agama dalam masyarakat. Agama sendiri dinilai oleh masyarakat yang digadang-gadang memberikan solusi berbagai masalah. Namun, anggapan bahwa agama sebagai bencana bagi umat manusia ternyata sudah melabeli di abad ke-21. Menurut Kimball, agama menjadi bencana ketika para pelaku kejahatan mengatasnamakan agama. Tindakan kejahatan tergantung dari nilai sosial budaya, sistem kepercayaan agama dari suatu masyarakat.
Dalam kejahatan ketidaksesuaian antara unsur-unsur dalam kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok dari warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan rusaknya ikatan sosial. Sosiolog Talcott Parsons percaya bahwa sistem sosial terdiri dari tindakan individu. Ia memandang kejahatan sebagai faktor disintegrasi yang dapat mempengaruhi homeostatis masyarakat.
Ini sejalan dengan kasus pemerkosaan di atas. Jelas pemerkosaan di Indonesia adalah bentuk Kejahatan yang melanggar hukum dan ketertiban masyarakat. Hal ini mempengaruhi secara negatif struktur sosial dan sistem dasar masyarakat dan nilai-nilai moral yang dianuti.
Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Maka tindakan pemerkosaan jelas menyalahi aturan moral dalam masyarakat.
Maraknya fenomena agama dijadikan kedok tentu menjadi hal yang patut kita teliti. Pasalnya simbol agama hingga lembaga agama tertentu menjadi kambing hitam atas tindakan bejat ini. Sebagaimana apa yang disampaikan oleh Johan Effendi bahwa bukan pada agamanya, tetapi melihat penganutnya. Karena masyarakatlah yang menjalankan dan memaknai agama. Agama seharusnya dapat mengajarkan pada manusia modern untuk mengenal batas-batas kemanusiaannya.
			
		    
                                
                                










