Generation of Seekers – Beberapa momentum mengejutkan peristiwa terorisme di Indonesia belakangan silam, telah menghentakan kesadaran kita mengenai bahaya dari terorisme. Sebut saja diantaranya Bom Jakarta 14 Januari 2016, beberapa bom bunuh diri dan serangan senjata terjadi di jantung kota Jakarta, menargetkan kafe starbucks dan pos polisi di dekat pusat perbelanjaan Sarinah. Serangan tersebut mengakibatkan kematian delapan orang, termasuk penyerang, dan melukai puluhan lainnya. Serangan itu diklaim oleh Negara Islam (IS).
Pertanyaannya adalah apa sebenarnya faktor yang menyebabkan orang tertarik menjadi monster berbahaya penjagal manusia tak bersalah? Ada banyak faktor yang bisa menjadikan seseorang menjadi teroris. Artikel ini akan mencoba menelusuri dari sisi kejiwaan. Berikut ini adalah beberapa pandangan yang dapat Anda simak!
Kita sudah sering mendengar bahwa terorisme tidak bisa diberantas dengan sekadar tindakan representatif bersenjata. Kita juga harus menelusuri akar permasalahan yang memengaruhi ketertarikan seseorang untuk menjadi teroris. Namun, perlu dicatat bahwa terorisme adalah tindakan yang sangat tidak etis dan keji, serta bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kita tidak bisa membantah fakta bahwa di lapangan menyebutkan bahwa terorisme didominasi oleh kelompok kaum muda. Kebanyakan dari mereka adalah anak muda yang sedang berada dalam masa sulit perihal kejiwaannya. Mereka baru menyadari bahwa dirinya adalah sebagai individu yang berdiri sendiri. Perasaan kosong, hampa, rapuh, mencari jati diri serta keinginan untuk memiliki dan dimiliki. Inilah yang nantinya oleh sosiolog California Wade Clark disebut Generation of seekers.
Hal tersebut barangkali menjadi salah satu faktor pemicu seseorang masuk dalam kriminal terorisme. Berawal dari kelompok, fans, komunitas, gang yang menyebar di khalayak masyarakat, membuat generation of seekers ini memiliki identitas dan mendapat labelling seperti “keluarga baru”. Hal ini cukup menjadi perhatian mengingat banyak gerakan bawah tanah radikalisme menyerang kelompok-kelompok kaum muda melalui komunitas, gang, yang berujung pada kelompok terorisme.
Lalu, mengapa mereka kemudian tega melakukan hal yang melanggar kemanusiaan? Padahal mereka hanya manusia biasa yang juga punya perasaan alami seperti iba, empati, kasih sayang, dan manusiawi. Kebrutalan aksi terorisme tersebut terjadi ketika perasaan empati dan logika nalar mereka diganti dengan keyakinan dan tujuan-tujuan yang sesat.
Mereka sudah tidak melihat kacamata dunia ini dengan persepsi biasa dan pengalaman mereka. Akan tetapi, kacamata abstrak dan konsepsional seakan dunia terpolarisasi dan terkotak-kotakan. Mereka berada tahap pola pemikiran yang sempit dan seseorang yang tidak sepemahaman dan sepemikiran akan dilenyapkan tanpa rasa bersalah.
Dengan sistem cuci otak dari kelompok teroris, mereka menghilangkan rasa kemanusiaan dan mengklaim kebenaran sepihak. Sehingga pada akhirnya mereka tertarik pada ideologi ekstrem yang menekankan pemikiran radikal atau kebencian terhadap kelompok atau pemerintah tertentu. Mereka percaya bahwa tindakan kekerasan adalah cara yang efektif untuk mencapai tujuan mereka atau untuk menghancurkan sistem yang mereka benci.
Kelompok terorisme adalah sekelompok orang yang merasa terpinggirkan gagal menemukan makna hidup hingga memilih jalan pintas dari tawaran kelompok orang baru yang menawarkan “makna hidup”. Tentu saja makna-makna baru ini didasarkan atas pemahaman radikal dengan motif mengalahkan mereka yang dianggap sebagai musuh.
Dalam perspektif sosiologi inilah yang kemudian disebut faktor sosial. Beberapa orang yang merasa terpinggirkan, tidak puas, atau tidak diakui oleh masyarakat atau pemerintah, dapat menjadi rentan terhadap propaganda atau rekruitmen oleh kelompok teroris. Faktor-faktor ini dapat mencakup kemiskinan, ketidakadilan sosial, diskriminasi, perasaan terisolasi, atau pengalaman trauma.
Strata Piramida
Jika dianalisis lebih dalam, meminjam istilah sosiologi fenomena terorisme dapat dibedah melalui stratifikasi piramida. Strata atas adalah mereka yang menggunakan kekerasan, sedang mereka yang di bawah merupakan anggota sekaligus pelaku lapangan yang memiliki ideologi serupa baik yang setuju maupun belum tentu setuju atas tindakan pola kekerasan. Inilah bagian yang merupakan lading rekrutmen kelompok terorisme.
Strata bawah juga inilah yang pada akhirnya menjadi kelompok yang mudah mengkafirkan yang tidak sepemahaman mereka. Strata bawah inilah secara terang-terangan menjadi pelaku penyebar doktrin menyesatkan untuk mencari follower yang kemudian direkrut menjadi teroris baru. Para pelaku pada lapisan bawah ini, melakukan promosi besar-besaran melalui bantuan digital internet.
Menggunakan teknik-teknik digital mereka memutar balikan fakta dan menyebarkan gambar ketidak-adilan, menyerang kebijakan pemerintah dan menyerang negara yang dianggap taghut. Strategi demikian dilakukan secara massif berulang dan terkoordinasi dengan baik. Okelah jika seseorang yang mereka tuju sudah empunyai dasar aqidah dan keimanan yang kuat, jika tidaK? Ya, tentu saja mudah sekali kaum muda masuk dalam organisasi berbahaya ini
Fenomena yang dilakukan oleh kelompok terorisme tersebut dapat juga dilihat dari perspektif sosiolog Emile Durkheim. Durkheim melalui teori solidaritas mekaniknya, menjelaskan bahwa fenomena terorisme adalah bentuk dari sebuah persamaan perasaan, ide, dan tingkah laku. Para kelompok teroris memiliki persamaan dalam hal perasaan, terlihat para kelompok teroris ini sangat amat berpegang pada sebuah keyakinan konsep jihad yang menurut mereka merupakan sebuah tindakan yang disukai oleh Allah SWT
Kelompok teroris juga memiliki persamaan dalam ide, mereka memiliki visi dan misi dalam mendirikan negara Islam yang sistem pemerintahannya berdasarkan kepada syariat dan aturan Islam. Dalam tingkah laku kelompok teroris ini juga memiliki kesamaan yaitu dalam konsep jihadnya mereka melakukan pendindasaan dan kekerasan terhadap orang yang tidak mau mengikuti aliran mereka. Karena kelompok teroris ini sangat kuat dalam solidaritasnya, maka berbagai macam cara dilakukan untuk tercapainya sebuah tujuan.
Penulis: Yusup Nurohman, esais Sosiologi Agama
			
		    
                                
                                










