Jauh sebelum gen z lahir, imam ghazali, kiblat ulama tashawwuf kita, sudah membahas konsep overthingking. Beliau menyebutnya dengan
(keinginan dan kehendak terhadap kebahayaan).
Sangat kita sadari, bahwa sumber kesedihan dan kekecewaan kita adalah terciptanya (kita sendiri yang menciptkan) gap atau jarak yang terpaut jauh antara ekspektasi dan realita.
Kita terlalu sibuk menyusun ekspektasi tinggi, lalu saat sadar dan melihat kenyataannya masih pahit kita malah ovt, sedih, kecewa, marah, menyesal, dan penyakit-penyakit hati lainnya.
Emosi-emosi tersebut alih-alih melahirkan semangat dan husnudzon, ia malah menimbulkan malas, putus asa, menyerah dan menyalahkan keadaan.
Dalam bahasa tashawwuf, ekspektasi itu kita sebut sebahai thulul amal atau panjang angan.
Rumus yang diberikan imam Ghazali terhadap penyakit ini adalah : تفويض الأمر كله إلى الله _menyerahkan segala urusan kepada-Nya
Kenapa kita diperintah berserah diri? Karena sikap itu memberikan impact yang siginifikan seperti:
1. Menciptakan ketenangan hati
Sejatinya, seluruh pikiran-pikiran kita itu sifatnya kabur atau tidak jelas, kita terbatas untuk mengetahui baik buruknya sesuatu: “kalau aku nanti jadi A kira-kira gimna ya? Kalau aku ga jodoh sama A nanti aku sama siapa ya? Kalau aku ga dapat ini hidupku bakal gimana ya” Dll.
Pikiran-pikiran semacam itu hanya akan membingungkan dan melelahkan hati dan tubuh. Karenanya penting menyerahkan urusan (masa depan) itu kepada Allah. Paling tidak hati dan tubuh kita menjadi tenang dan berhenti lelah sebab hal itu. Karena apapun yang kita ekspektasikan, semuanya masih kabur. Ya, let say, apakah dengan anda berekpektasi A lantas A itu akan muncul dihadapan anda? Kan tidak. Yang pasti, hati, pikiran dan tubuh anda malah capek sendiri.
Syaikh Abu Bakar Al Warraq berkata dalam majelisnya :
دع التدبير الى من خلقك تسترح
“Berhentilah mengatur hal-hal yang menjadi wilayah Penciptamu, istirahatlah wahai jiwa!”
2. Apa yang akan kita dapat kelak adalah keadaan terbaik bagi kita
Orang yang terburu-buru menganggap dia berhasil/sukses/benar dsb dengan kemampuan mutlak dirinya sendiri, sebenarnya tanpa disadari dia sedang berjalan menuju kehancuran. Ia mengganggap dirinya kredibel dalam mengukur detail-detail kehidupan.
Ada sebuah kisah untuk mengilustrasikan poin kedua ini:
Ada seorang hamba yang berdoa kepada Allah agar diperlihatkan iblis. Allah mengatakan, “mintalah keselamatan!”. Hamba itu monolak dan bersikeras agar keinginannya untuk melihat iblis dikabulkan. Kemudian Allah mengabulkan. Saat dia melihat iblis, saking menyeramkannya penampilannya, hamba itu ingin membunuh iblis itu dan menghilangkannya dari hadapannya. Kemudian iblis itu berkata: “Andai kamu tidak akan hidup 100 tahun, pasti sudah kusiksa dan kubunuh kamu sekarang.”
Tebak apa yang ternyata terjadi?
Ya, hamba itu termakan bujukan iblis. Alhasil dia menyerap informasi iblis itu dengan mengatakan pada dirinya: “sesungguhnya umurku masih jauh dan panjang, aku akan melakukan apapun yang kusuka kemudian aku akan bertaubat nanti (di penghujung usiaku).” Jadilah hamba itu sebagai orang yg fasik, meninggalkan ibadah dan mati dalam keadaan yang demikian.
Itulah, peringatan agar kita tidak selalu mengutuk apa yang tidak kita dapat dari keinginan kita, begitujuga terlalu memaksa hal-hal yang kita inginkan. Percayakan semua pada-Nya, Dia akan memberi yang terbaik bagi kita.
Orang lain sibuk cari Tuhan, kita yang sudah punya Tuhan malah overthingking.
Happy Holiday
			
		    
                                
                                












